Satu tawa di hari minggu

Semburat cahaya mengintip di sela-sela tirai Febi ketika dia mengusap air matanya untuk kesekian kalinya. Bukan tanpa alasan Febi tak mampu tidur dari kemarin malam. Mata cantiknya telah menjadi sembab karena malam sebelumnya, Febi dan Rudi akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka yang sudah berjalan hampir lebih dari lima tahun. Putus-nyambung telah mewarnai hubungan mereka yang memang terbilang sangat rapuh. Kepercayaan yang pudar disana-sini, rasa tanggung jawab, bahkan komitimen yang sudah tak kuat lagi dirasa tak cukup untuk membuat mereka berpisah begitu saja. Namun, seketika, Febi disadarkan bahwa umur’nya yang keduapuluh tiga tak lagi cukup muda untuk hanya mengandalkan rasa cinta dalam menjalin suatu hubungan. Prinsip, itulah senjata yang Febi pakai untuk membantah segala rayu Rudi yang tak inginkan perpisahan menghampiri.

Pukul delapan. Febi mengambil bantal dan memutuskan untuk menyembunyikan tangisan dan teriakan yang terakhirnya sebelum ia harus bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ingin rasanya untuk pura-pura sakit saja untuk libur hari ini. Namun, integritasnya sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas berjalannya unit HRD di perusahaanya menuntutnya untuk professional. Ia pun berteriak sekeras-kerasnya di balik bantal, agar tak mengganggu siapapun, termasuk tetangga kamar kost yang lain.

“Manyun banget tuh muka, Feb”. Sapa Raka, teman sekantor Febi ketika lift sudah mulai naik menuju lantai lima, tempat mereka bekerja bersama.

“Kelihatan banget ya Ra?”

“Ya kelihatan banget lah. Lihat tuh mata, bendol banget kaya ikan kembung”. Tawa pun mewarnai suara Raka. Raka, lelaki muda yang lebih tua dua tahun dari Febi ini terlihat sangat dewasa dan bijak. Dengan garis muka yang tajam dan tegas, mata yang teduh dan hidung yang mancung, dia nyaris hampir mirip dengan penyanyi favorite ibu Febi, Ahmad Albar.

“Ah, sialan kamu Ra.”

Lift terbuka, dan mereka pun melangkah masuk bersamaan menuju bilik kantor masing-masing. Diam-diam Febi bersyukur dalam hati karena hari ini memang tidak ada rapat yang harus dihadiri. Karena jika memang ada jadwal rapat yang harus dihadiri, dia sudah tidak sanggup lagi untuk berpikir dan memberi ide maupun sumbangsih lain dalam rapat-rapat tersebut.

“Mbak Febi, mau kopi?” Suara office boy kece, Rendi, memecah lamunan Febi ketika harus melihat foto-fotonya bersama Rudi. Dalam hati dia berpikir apakah lebih baik untuk menyimpan foto-foto tersebut di kantor untuk kenang-kenangan, ataukah harus dibuang saja agar ia mampu melupakan segala hal yang berkaitan dengan Rudi?

“Mau teh susu aja deh Ren. Satu cangkir gede ya?”

“Kok tumben mbak nggak mesen kopi?” pertanyaan Rendi mendadak membuat Febi tersenyum tipis. Perempuan muda tersebut tidak pernah benar-benar menyukai kopi. Baginya, kopi itu terasa pahit dan tetap saja tidak enak walaupun sudah diberi gula bersendok-sendok. Entah, apa yang membuatnya mencoba untuk meminum kopi setiap hari hanya untuk membuatnya terbiasa dengan kebiasaan Rudi yang suka minum kopi setiap hari dan setiap waktu.

“Hidup itu sudah pahit. Tak perlu ditambah pahit dengan kebiasaan minum kopi pahit, Rud”

Febi pun kembali kepada kesadarannya sendiri. “Enggak deh Ren, Teh susu aja. Udah nggak mau minum kopi. Nanti bisa-bisa kuning nih gigi”.

“Ada lagi mbak?”

“Enggak deh, itu aja. Trims ya” Jawab Febi seadanya.

Febi kembali lagi menoleh kepada foto-fotonya yang tersebar di meja kantor maupun di dinding-dinding bilik kantornya sendiri. Setelah menimbang-nimbang cukup dalam dan lama, dia pun memutuskan untuk mengambil satu-persatu setiap foto yang terpampang dan terpasang kuat di tempatnya masing-masing. Kegiatan melepas foto-foto tersebut memaksa Febi untuk kembali pada setiap kenangan-kenangan yang ada di setiap lembar foto tersebut.

Ah, bodo amat. Tuh orang juga gak bakalan nangisin aku disana. Maka Febi pun menutup mata dan melepas setiap foto yang diraba’nya.

“Eh, kamu beneran putus sama Rudi, Feb?” Wajah iseng Raka tiba-tiba muncul dari balik dinding kantor Febi yang memang bersebelahan langsung dengan bilik kantor Raka.

“Kata siapa Ra?”

“Kusak-kusuk dari temen-temen yang daritadi perhati’in kamu sih. Lagipula, sekarang buktinya kamu ngelepas foto-foto Rudi yang nempel disitu berabad-abad.”

“Ah, kamu kepo banget sih, Ra.” Jawab Febi dengan nada sebal.

“Bukannya kepo, Ra. Tapi kalo kamu putus sama dia kan bagus. Soalnya, sudah beberapa minggu ini aku ngelihat dia jalan sama cewek lain di mall sambil gandengan tangan gitu. Trus……”

Suara Raka tiba-tiba menghilang dari telinga Febi dan Febi pun mulai bermain dengan pikiran’nya sendiri. Cerita samar-samar Raka pun mulai menjelaskan secara perlahan mengenai peringai Rudi yang mulai berubah belakangan. Febi pun tiba-tiba berdiri dari kursinya dan membuang setiap foto yang bisa dia ambil. Dia berjalan di lorong kantornya dan menuju ke bilik kepala unit yang berada dekat dengan lift. Cuti sehari, itulah rumor yang beredar di seluruh kantor ketika Febi memasuki lift dan turun ke lantai terbawah. Lalu, ia berlari pulang ke kost’nya, menutup pintu, dan menangis sepuas-puasnya.

Cuti sehari nyatanya menjadi cuti berhari-hari yang diambil oleh Febi. Ia sudah tidak peduli dengan inbox smartphone maupun bbm yang mungkin dikirim oleh teman-teman sekantornya. Yang terpenting baginya adalah ia telah menjelaskan kepada kepala unit’nya bahwa ia akan mengambil jatah cuti habis setahun yang belum pernah dia ambil satupun.

Febi pun melemparkan badan sekenanya ke kasur setelah mandi. Berhari-hari ia hanya mampu menonton drama Amerika favoritnya, luluran, maupun membaca novel favoritnya. Ia benar-benar tak siap menghadapi realita. Terutama, ketika bayangan Rudi kembali mengintai di harinya.

Ini hari minggu, dan mau tak mau, dia harus pergi ke tempat ibadah, untuk mengucapkan syukur kepada penciptanya. Tiba-tiba, pintu diketuk dan Febi pun berjala untuk membuka pintu tersebut. Paling juga mbak kost, pikir Febi yang saat itu terlihat sudah siap untuk pergi.

“Hai, Feb. Sudah baikan?” Febi melongo didepan cowok yang mirip Ahmad Albar tersebut. Penampilannya yang biasa sangat resmi dan terkesan seperti bapak-bapak, hari ini menjelma menjadi seperti mas-mas ganteng yang suka Febi amati di mall-mall.

“Loh, kok melongo? Kamu mau ke gereja sekarang kan? Ayo, aku anterin, sekalian ibadah bareng.”

Hah, kamu seiman sama aku? Pikiran Febi pun melayang-layang ke negeri antah-berantah. Selama ini yang ada di hidupnya hanyalah Rudi, Rudi, dan Rudi. Pesona Raka dan kenyataan lainnya tidak pernah sekalipun mengusik hari Febi, kecuali hari ini.

Mereka pun naik ke mobil Raka yang telah siap menunggu mereka didepan kost Febi.

“Kamu mimpi apa Ra? Kok tiba-tiba ngajak ke gereja bareng?” iseng banget tanya pertanyaan beginian ke Raka… Febi pun mengolah pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba mengusik pikirannya seharian.

“Ya enggak. Sudah daridulu aku kepingin ke gereja bareng sama kamu. Tapi kamu’nya kan selalu ada gandengan, jadinya aku sungkan” Jawab Raka sekenanya sambil mulai membelok’kan setir mobilnya ke satu tempat makan ice cream tertua di Surabaya, Zangrandi.

“Turun deh Feb, aku traktir ice cream. Ibadahnya kan masih satu jam lagi, masih ada waktu buat ganjelin nih perut” Senyum simpul Raka tiba-tiba mempesona Febi begitu saja.

“i-iya. Aku turun duluan ya Ra.” Febi pun berlari menuju ke toilet dan berkaca. Penampilan’nya didepan Raka hari ini tiba-tiba menjadi penting. Dan, satu senyum manis memulas bibir Febi ketika dia melihat kaca. Satu tawa di hari minggu, satu tawa milik Febi yang telah lama lenyap entah kemana.


Komentar

Postingan Populer