Simfoni sebuah kabar angin

Hi, my readers! Dipostingan kali ini, aku mau share cerpen-cerpen yang aku buat. Dan kali ini, aku ngepost salah satu cerpen ku yang genrenya agak bitter-romance gitu. Untuk dipostingan selanjutnya, aku janji bakal ngepost yang lebih fresh kok. Hope you like it, enjoy :D



Simfoni Sebuah Kabar Angin

Kabar angin. Begitu banyak yang kudengar tentangnya sejak usiaku masih sangat belia. Sebagian hanya merupakan hiburan. Yang lainnya hanyalah kabar biasa. Namun, diantara sekian banyak itu, ada beberapa yang mampir, dan mau tidak mau, aku harus menebalkan kuping, setelah sebelumnya aku menebalkan hatiku yang sudah tak berbentuk. Hancur.

Kabar angin membawa simfoni’nya tersendiri. Mereka terdengar sangat merdu apabila membawa kabar-kabar yang membahagiakan hati. Namun, angin yang berhembus membawanya dapat dihitung dengan jari. Mereka jarang mampir dan berhembus ditelingaku. Yang aku tahu, mereka sangat sering berhembus di sekitar rumah-rumah ibadah, yang jarang aku sambangi akhir-akhir ini. Kabar sukacita, itu kata mereka.

Berbeda lagi dengan kabar angin yang membawa nada-nada sumbang. Suka tidak suka, justru ialah yang sering mampir ditelingaku. Ia menari-nari dengan nadanya yang tak karuan: naik turun. Aku berusaha menutup telingaku dengan tangan ketika ia datang. Entah, sepertinya tanganku menolak. Kupingku terpaksa menjadi korban ketika setiap nada bergesek’an, berlomba untuk masuk ke kupingku, dan membawa suatu berita yang entah bagaimana, selalu memberikan tanda tanya ketika mereka lenyap dan meninggalkan sebuah senyap.

Beberapa kabar angin yang kuingat selalu bernada sumbang. Bahkan sumbang yang mereka bawa sudah tak ubahnya menjadi merdu bagiku. Karena kupingku sudah tak peka dengan nada. Kupingku tak bernyawa.

Kabar angin mengenai ayahku adalah yang pertama kali kudengar: nyaring dan bernada sumbang. Kabar angin itu berbisik bahwa ayahku kabur dengan simpanan’nya ketika aku masih berusia tiga tahun. Ia berkata bahwa ayah telah diguna-guna oleh seorang wanita miskin yang berpikiran bahwa ayah memiliki harta yang melimpah.

Sekali lagi, entah… kepergian ayahku bersama simpanannya mungkin telah menjadi suratan tersendiri bagiku. Karena malam sebelum ia kabur, aku membisikkan sebuah kabar angin terlebih dahulu ke kuping ayahku.

“Ayah akan mati. Besok. Tertabrak bis”

Ayah yang saat itu menggendong tubuh kecilku langsung menjatuhkanku ke karpet merah, satu-satunya tempat yang layak bagiku dan ibu untuk terlelap, di rumah kontrakan kecil, dimana aku selalu melihat bintang dari bolongan kecil atap rumah.

“Ayah tak mampu membeli kasur, nak. Gajinya sedikit.” Ucap ibuku di suatu malam, disaat ia mengusap rambutku dengan kasih sayang, dan menina-bobokanku yang setengah terlelap. Kabar yang dibawa ibuku adalah satu yang selalu bernada merdu, apapun yang ia bawakan dan mampir ke kuping kecilku.

Namun tiba-tiba, kabar dari ibu pun akhirnya bernada sumbang, setelah malam itu terjadi. Malam, dimana telepon di rumah kami berdering, dan ibu mengangkatnya. Pembicaraan di telepon tak begitu jelas, karena memoriku pun sudah kabur, entah kemana. Yang aku ingat, aku dan kakak laki-laki’ku berwajah muram dan bingung, disaat ibu terjatuh menggenggam gagang telepon berwarna merah jambu yang sering digunakan ayah saat malam hari, disaat aku sering melihat ibu tidur sambil berlinang air mata.

“Ayah, tak akan pernah pulang lagi.”

Tahun-tahun berlalu. Ayah tentu saja sudah mati. Namun, angin sudah tak pernah berhembus lagi di sekitarku. Entah, mungkin musimnya yang telah tergantikan oleh musim panas. Atau mungkin, angin sudah jenuh mengantongi kabar-kabar kabur untuk ditiupkan ke telingaku.

Hingga suatu malam, angin itu berhembus lagi di ruang tengah rumah eyang.

“Ibunya Kirana iku sekarang sudah jadi lonte.  Tontok’en a, endi saiki wong’e? Anak-anak’e ditinggal ngono ae sak enak udele. Gak tanggung jawab. ”
(“Ibunya Kirana itu pelacur. Lihat saja, dimana sekarang dia? Anak-anaknya ditinggal begitu saja sesuka hati. Tidak bertanggung jawab”).
“Halah, meneng’o ae tik-tik. Wong awakmu kecipratan duwek’e ae kok ben wulan”. (“Diam saja tik, tik. Orang kamu ya kebagian uangnya saja setiap bulan”).
Aku yang saat itu berusia dua-belas tahun, hanya sanggup menarik nafas dalam-dalam dan bertanya-tanya. Apakah benar ibuku adalah pelacur? Menjual tubuhnya hanya untuk menghidupi anak-anaknya? Ataukah, ibuku hanya ingin membalas dendam perbuatan ayahku yang dulu sehingga ia tak tenang dalam neraka’nya?
Aku tak dengar. Aku memilih untuk menutup hatiku, sambil membiarkan kabar-kabar angin terus berhembus memenuhi setiap ruangan dimana aku berada. Mereka berdengung. Sumbang. Aku mendengung. Mungkin ada pentingnya juga untuk mendengar, disaat hati sudah tak sanggup menilai ataupun menimbang apa-apa lagi.
Kabar-kabar angin hanya datang begitu saja dengan penilaiannya. Terkadang negatif, terkadang pula positif. Ketika ia memberi nilai positif, maka nadanya telah menjadi merdu. Namun, ketika ia mengantongi sebuah kata negatif, sumbang selalu menjadi nada yang paling tepat untuk menemani angin yang berhembus. Terkadang, aku berharap bahwa angin telah belajar sesuatu sebelum membawa kabar-kabar itu. Seharusnya mereka belajar untuk berdengung tanpa membawa penilaian, sehingga orang yang mendengar kabar tersebut dapat menilai sendiri dengan pengertiannya akan sesuatu.
Namun, itu tak akan pernah terjadi.
Kabar angin itu seumpama Tuhan. Ia membawa penilaian akan segala sesuatu dengan caranya sendiri. Harusnya begini, harusnya begitu. Kabar angin itu juga seumpama setan. Ia hanya mengambil potongan-potongan kejadian yang bisa diolah, dibumbui, lalu ditiupkan ke kuping banyak orang. Mungkin kabar angin itu memang sebenarnya adalah Tuhan, karena ia memiliki kebenarannya sendiri. Namun kabar angin itu juga bisa setan, karena dengan hembusan beritanya, pagi ini seorang wanita telah mati.
Wanita tersebut mengambil tali, lalu mengikatnya di kayu langit-langit rumahnya. Ia bergantung cukup lama, katanya. Kakinya berayun dan menggedor tembok papan, perbatasan antara rumahnya dan rumah tetangga. Gerak badannya berayun beberapa kali, hingga tetangga sebelahnya penasaran dengan apa yang dilakukan wanita ini. Terkejut, ia berteriak. Seorang wanita telah mati pagi ini.
Aku menyentuh perut, merasa mual. Padahal, aku hanya mencoba untuk bermain-main dengan kabar angin. Aku berkata kepada wanita tersebut jika akulah istri kedua suaminya. Padahal, tidak benar juga. Menurutku, ini semua salah Herman, yang menolak tawaranku untuk menjadi simpanannya.
Mengapa justru lelaki yang setia hanyalah Herman? Kenapa bukan Ayahku saja?
Kabar angin itu pun terus berhembus dengan nada merdu bercampur sumbang. Aku senang, jika bisa pulang dan memeluk Herman tanpa takut lagi. Namun, aku juga takut menghadapi hidup baruku disini. Diruangan pengap yang seharusnya tanpa angin berhembus. Aku heran, darimana datangnya angin-angin ini? Padahal, aku terhimpit dalam ruang sempit penuh jeruji.
“Kirana itu lonte. Dia yang merayu Herman, suami sahabatnya sendiri, hingga temannya itu mati bunuh diri.”
Perutku bergejolak. Terlalu banyak angin. Enyahlah, aku sudah masuk angin.


Sby, 6 Januari 2013. 
Revisi 31 Januari 2013. (07:45)

Komentar

Postingan Populer