Tiga
Aku tiba-tiba teringat, ketika aku masih kecil, aku hanya bisa berhitung dari satu hingga tiga: satu, dua, tiga. Dan seingatku, keluargaku pun hanya berjumlah tiga orang. Satu, ibuku. Dua, kakakku. Tiga, aku.
Dulu, sempatku bertanya kepada Tuhan: kenapa hanya bertiga? Aku ingin ketika aku berhitung, aku akan sampai kepada angka empat. Empat, ayah. Aku ingin ayah.
Namun Tuhan hanya diam. Beliau enggan memberiku ayah. Mungkin ayah memang payah. Atau, memang Tuhan hanya inginkan aku bersahabat dengan angka tiga. Satu, ibuku. Dua, kakakku. Tiga aku.
Tanpa aku sadari, kami selalu melangkah bertiga. Terkadang aku menjadi nomor satu. Ibuku dua. Kakakku tiga. Kadang kakakku menjadi nomor satu, lalu ibu dua, dan aku tiga. Sejauh yang aku ingat, ibu tidak pernah mau lagi menempati urutan nomor satu. Kata ibuku, urutan satu hanya untuk kakak dan aku. Kami pun mengangguk maklum. Ibu suka menjadikan kami nomor satu secara bergantian. Karena memang angka satu tidak muat ditempati berdua. Kami harus bergantian.
Dari ibu dan kakak, aku belajar berjalan maju, lalu mundur. Aku belajar bahwa aku harus mau makan sayur. Aku belajar bahwa mencuri bisa membuatku berteman dengan setan, lalu aku akan masuk kedalam neraka. Dari mereka juga aku belajar, bahwa aku harus mengikuti dua cara: menerima uang melalui amplop merah, dan menerima uang begitu saja tanpa amplop. Kadang sih, pakde juga memasukannya kedalam amplop putih. Tapi Ako dan Susuk selalu suka amplop merah. Tidak pernah mereka memberiku amplop putih.
Dari mereka, aku belajar mementingkan diriku sendiri. Lalu aku diputar balik harus belajar mementingkan mereka diatas diriku sendiri. Aku diajarkan untuk cuek, tetapi peduli ketika seseorang membutuhkanku. Aku diajarkan untuk berkata "maaf", lalu membela diri. Aku diajarkan untuk tidak bicara banyak, namun harus menjelaskan panjang lebar jika aku ditindas.
Aku belajar siapa yang baik siapa yang buruk. Mana yang harus dijadikan sahabat, mana yang harus dilupakan dengan segera.
Aku juga belajar untuk menjaga hati. Kata mereka, diluar sana banyak orang jahat yang mau meremukkan hati, tetapi hati hanya satu. Satu, bukan tiga.
Dari ibu, aku mengerti bahwa hati manusia mampu menampung seratus orang sekaligus, tetapi hanya tiga orang yang akan tinggal : suami, anak, dan orangtua.
Dari kakak, aku belajar memahami bahwa menunggu terkadang tidak buruk. Jika hatimu panas, jaga kepalamu tetap dingin. Aku juga belajar bahwa semua orang punya prosesnya sendiri. Dan aku melihat, betapa berat proses yang harus dijalani kakakku untuk menjadi penjagaku dan ibu.
Dari mereka, aku menyadari bahwa tiga sangat berarti. Pernah ku mencoba untuk membuat tiga menjadi dua. Aku pergi dari rumah untuk mengejar karir dan cinta (*ups!). Tetapi di akhir hari, aku mendapati diriku tinggal setengah. Aku pun kembali kerumah dengan tidak utuh.
Aku pikir mereka akan menertawakanku.
Tetapi tidak. Mereka justru menerimaku kembali, seakan aku tidak pernah pergi. Lalu dua yang aku tinggalkan, sekarang kembali menjadi tiga. Aku kembali utuh.
Dan kini aku mengerti. Tiga adalah angka yang tepat untuk kami. Satu, kami. Dua, kami. Tiga, kami.
Kami memang tim terbaik!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*tulisan ini saya dedikasikan kepada ibu saya yang sedang tertidur pulas ketika saya menuliskan ini, dan kepada kakak saya yang sedang bermain game online didepan komputernya dengan perasaan yang tak menentu.
Saya sayang kamu dan kamu!
Dulu, sempatku bertanya kepada Tuhan: kenapa hanya bertiga? Aku ingin ketika aku berhitung, aku akan sampai kepada angka empat. Empat, ayah. Aku ingin ayah.
Namun Tuhan hanya diam. Beliau enggan memberiku ayah. Mungkin ayah memang payah. Atau, memang Tuhan hanya inginkan aku bersahabat dengan angka tiga. Satu, ibuku. Dua, kakakku. Tiga aku.
Tanpa aku sadari, kami selalu melangkah bertiga. Terkadang aku menjadi nomor satu. Ibuku dua. Kakakku tiga. Kadang kakakku menjadi nomor satu, lalu ibu dua, dan aku tiga. Sejauh yang aku ingat, ibu tidak pernah mau lagi menempati urutan nomor satu. Kata ibuku, urutan satu hanya untuk kakak dan aku. Kami pun mengangguk maklum. Ibu suka menjadikan kami nomor satu secara bergantian. Karena memang angka satu tidak muat ditempati berdua. Kami harus bergantian.
Dari ibu dan kakak, aku belajar berjalan maju, lalu mundur. Aku belajar bahwa aku harus mau makan sayur. Aku belajar bahwa mencuri bisa membuatku berteman dengan setan, lalu aku akan masuk kedalam neraka. Dari mereka juga aku belajar, bahwa aku harus mengikuti dua cara: menerima uang melalui amplop merah, dan menerima uang begitu saja tanpa amplop. Kadang sih, pakde juga memasukannya kedalam amplop putih. Tapi Ako dan Susuk selalu suka amplop merah. Tidak pernah mereka memberiku amplop putih.
Dari mereka, aku belajar mementingkan diriku sendiri. Lalu aku diputar balik harus belajar mementingkan mereka diatas diriku sendiri. Aku diajarkan untuk cuek, tetapi peduli ketika seseorang membutuhkanku. Aku diajarkan untuk berkata "maaf", lalu membela diri. Aku diajarkan untuk tidak bicara banyak, namun harus menjelaskan panjang lebar jika aku ditindas.
Aku belajar siapa yang baik siapa yang buruk. Mana yang harus dijadikan sahabat, mana yang harus dilupakan dengan segera.
Aku juga belajar untuk menjaga hati. Kata mereka, diluar sana banyak orang jahat yang mau meremukkan hati, tetapi hati hanya satu. Satu, bukan tiga.
Dari ibu, aku mengerti bahwa hati manusia mampu menampung seratus orang sekaligus, tetapi hanya tiga orang yang akan tinggal : suami, anak, dan orangtua.
Dari kakak, aku belajar memahami bahwa menunggu terkadang tidak buruk. Jika hatimu panas, jaga kepalamu tetap dingin. Aku juga belajar bahwa semua orang punya prosesnya sendiri. Dan aku melihat, betapa berat proses yang harus dijalani kakakku untuk menjadi penjagaku dan ibu.
Dari mereka, aku menyadari bahwa tiga sangat berarti. Pernah ku mencoba untuk membuat tiga menjadi dua. Aku pergi dari rumah untuk mengejar karir dan cinta (*ups!). Tetapi di akhir hari, aku mendapati diriku tinggal setengah. Aku pun kembali kerumah dengan tidak utuh.
Aku pikir mereka akan menertawakanku.
Tetapi tidak. Mereka justru menerimaku kembali, seakan aku tidak pernah pergi. Lalu dua yang aku tinggalkan, sekarang kembali menjadi tiga. Aku kembali utuh.
Dan kini aku mengerti. Tiga adalah angka yang tepat untuk kami. Satu, kami. Dua, kami. Tiga, kami.
Kami memang tim terbaik!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*tulisan ini saya dedikasikan kepada ibu saya yang sedang tertidur pulas ketika saya menuliskan ini, dan kepada kakak saya yang sedang bermain game online didepan komputernya dengan perasaan yang tak menentu.
Saya sayang kamu dan kamu!
Komentar